10 March 2011

Hubungan vs Keintiman (setelah membaca Norwegian Wood, Haruki Murakami)

Selesai juga akhirnya membaca novel “Norwegian Wood” karangan Haruki Murakami. 

Mengenal Toru Watanabe, tokoh utama dalam novel ini, membuat saya tidak rela untuk menyelesaikan membacanya. Karakternya yang pendiam, selalu senang dengan yang tidak umum, tapi juga suka main perempuan adalah karakter yang mungkin sangat fiksi sekali. Tapi coba lihat di sekeliling kita. Ingat-ingat lagi pengalaman diri sendiri dan cerita teman-teman di sekitar saya. Nyatanya memang banyak sifat kontradiktif yang ada di diri seseorang. Orang yang terlihat serius, belum tentu bermoral suci lalu anti seks bebas. 

Saya juga jatuh cinta dengan Midori. Seorang wanita berpenampilan lebih sering “tidak serasi’, punya banyak masalah hidup, suka bermimpi hal yang aneh, dominan, namun punya hati yang tulus. Kemauan Midori untuk sesuatu seakan dipaksakan. Harus dan harus. Apapun caranya. Menjadi sensitif karena fisiknya yang bukan tipikal wanita cantik berambut panjang, lembut, bertutur kata sopan. Sosok penampilan yang selalu bikin pria jatuh hati. Tapi di sisi lain, ia juga tidak pernah memaksa orang lain berbuat sesuatu padanya. Ia juga tidak munafik. 

Lalu ada Naoko. Terlihat sempurna, namun lebih suka dengan dunianya. Terperangkap dengan masa lalu. Kematian Kizuki, kekasih masa kecilnya, membuat dia hidup terbelenggu di antara hidup dan kematian. Sosok wanita impian laki-laki, namun susah sekali didapatkan karena sibuk dengan kebingungan dirinya sendiri.

Reiko-San. Wanita paruh baya yang jadi teman setia Naoko di tempat perasingan mereka dari “orang normal”. Main gitar, jauh dari suami dan anak, memiliki cerita di masa lalu dengan sesama jenis, cukup menggambarkan karakternya yang kuat dan bisa menerima keadaannya yang sekarang. Ia juga hanya seorang wanita dewasa yang punya hasrat dengan pria muda namun bisa bertanggung jawab untuk kebahagiaannya sendiri. 

Nagasawa-san yang selalu menganggap orang lain hina. “Jangan pernah mengasihani dirimu sendiri. Karena itu adalah perbuatan orang yang hina”, itu pesannya kepada Watabane. Punya kekasih yang mengerti dia luar dalam. Tapi selalu tidak mau menghentikan kesenangannya akan perempuan dan minuman sake. Dia lebih cinta kepada dirinya sendiri dan tidak peduli apakah orang lain mau menerima keadaannya atau tidak. 

Masih ada karakter-karakter lain yang menarik, tapi meraka di ataslah yang paling menonjol. 

Satu hal yang menarik. Murakami berhasil membuat sebuah garis yang jelas untuk sebuah hubungan dengan perbuatan intim. Apakah itu berakhir dengan penetrasi, atau hanya bersentuhan anggota tubuh, semua orang-orang ini dihubungkan dengan seks. 
Ada pertanyaan di kepala saya: apa iya, untuk merasa dekat dengan seseorang, kita harus melakukan kontak fisik dengannya? Atau, karena kita sudah dekat, lalu kita mau bersentuhan fisik dengan orang tersebut? 

Saya jadi ingat cerita seorang teman wanita saya. Dia punya dua orang sahabat pria yang hubungannya sangat dekat. Suatu hari dia berkata, bahwa karena merasa dekat dengan dua sahabatnya tadi, dia pernah melakukan kegiatan seksual dengan keduanya. Dan dia merasa lebih dekat dengan mereka. Embel-embel perasaan setelah “perbuatannya” tadi tidak terlalu penting. Karena keintimannya dilakukan bukan untuk memulai hubungan percintaan, atau hanya melampiaskan napsu. Lebih kepada, ketika bagian tubuhmu kamu bagikan kepadanya, perasaan lebih dekat itu akan terasa berbeda. Persahabatanpun menjadi lebih tulus.

Saya tidak sedang membicarakan moral. Ajaran agama. Provokasi perbuatan atau apapun. Saya hanya sedang melihat sesuatu yang datang dari sifat dasar seseorang.

Novel ini juga membuyarkan lamunan saya, ketika berdekatan dengan seorang sahabat laki-laki. Apakah tidak pernah sekalipun saya membayangkan seandainya saya berpelukan dengannya? Disayang-sayang olehnya? Sekadar berpegangan tangan untuk menguatkan perasaan dekat kami? 

“Sahabat saya pernah minta diajarkan bagaimana berciuman dengan laki-laki. Lalu kamipun berciuman,’ cerita seorang teman laki-laki saya beberapa tahun yang lalu.
Apakah kamu terangsang?, tanya saya. Pastinya, jawabnya. Lalu apakah kalian berhubungan seks, tanya saya lagi. Tentu tidak, karena kami hanya ingin belajar, cerita teman saya. Untuk apa belajar dari orang lain yang tidak dekat dengan kita, lanjutnya lagi.

Apapun itu, apa yang disuguhkan Murakami dalam novel ini memang sangat cerdas. Jarak antara sebuah hubungan dengan keintiman memang sangat dekat. Bagaimanapun, kita punya napsu, hasrat, namun juga punya hati dan prinsip. Dalam buku ini, seks menjadi sesuatu yang tidak menjijikkan, menyakitkan atau merendahkan derajat seseorang. Hanya sebuah bagian dari keutuhan seseorang.

Saya tidak sedang mengajak semua orang berbondong-bondong mengajak sahabatnya berhubungan intim.

Saya hanya sedang terbawa oleh cerita novel ini. Norwegian Wood. Haruki Murakami.
Betapa menceritakan hal-hal yang terjadi dalam diri seseorang, dengan suguhan fiksi, tapi sekaligus terasa nyata sangatlah tidak mudah. Apalagi sampai menggugah.

Walaupun akhir ceritanya tidak seperti yang ada di kepala saya. Tapi tetap saja menarik.


No comments:

Post a Comment