11 March 2011

Lemari Lila dan Batik

Siapa bilang pakai batik itu kuno. Kuno juga selalu membuat pendapat, “banyak orang muda (atau merasa muda) dan orang modern (atau yang merasa modern) yang tidak mau pakai batik, karena dianggap kuno”. Itu hanya anggapan klise. Siapapun saat ini saya lihat senang memakai batik. Tapi tentu saja dijadikan baju siap pakai. Dengan warna-warna yang lebih bervariasi. Tapi tidak sedikit pula yang senang dengan batik klasik yang warnanya krem atau coklat..

 Kesukaan pada batik tergantung pada selera. Juga pada lingkungan di sekitar kita. Bila sering melihat hal-hal yang berhubungan dengan batik, pasti dengan sendirinya batik akan jadi bagian hidup kita. Saya sendiri menyenangi batik karena pengaruh Ibu saya, yang memang pecinta batik. Ibu saya bilang, dirinya menyukai batik karena pengaruh nenek saya, yang memang memakai kain / jarik. Alasan lain ibu saya adalah karena ia harus sering menggunakan busana resmi nasional Indonesia untuk menemani ayah datang ke acara resmi di kantornya saat itu.

Jadilah saya suka batik. Alasan mendasar adalah, saya memang pecinta benda-benda etnik, termasuk ya.. batik.

Saat itu umur saya masih muda. Dan tumbuh sebagai anak kota. Bisa dikategorikan “muda dan modern” kan? Tapi saya suka batik. Setidaknya kain bermotif batik. Mulai dari motif Jawa Tengah, Jawa Barat sampai Sumatra.

Di pertengahan tahun 2009, kesukaan saya itu juga yang menginspirasi saat mulai menjahitkan baju dengan motif batik. Dengan alasan “tidak etis” dan “sayang untuk dipotong”, saya memilih batik dengan teknik cap untuk dijadikan sebuah model baju. Saya tidak terlalu tertarik dengan batik printing. Itu hanya sebuah kain dengan motif batik. Walaupun, sah-sah saja sih.. menyebutnya sebagai batik.

Hal selanjutnya yang dipikirkan adalah: baju model apa ya? Terus terang, menjahitkan baju dengan model sendiri didorong oleh inspirasi yang timbul dari kepala. Saya ingin baju bergaya “baju distro” atau “baju butik masa kini”, juga "baju vintage" tapi dengan sentuhan batik. Inspirasi ini memang tidak murni dari kepala sendiri. Dipengaruhi dari melihat, mengamati, mempelajari. Jadilah inspirasi.

Menurut Deddy, teman saya yang juga perancang busana, “rancangan sebuah baju jarang yang murni dari kepala perancangnya. Pasti ada rancangan awal yang menjadi acuannya. Bagaimana lalu kamu memadu padankan warna, atau letak bagian baju yang dirubah. Jadilah itu rancanganmu”

Kata-katanya menyemangati saya. Mulailah saya mengambil beberapa baju di lemari. Kebetulan, saya juga penggemar baju-baju berbahan kaos darii butik baju perempuan dan Distro. Mulailah saya mengadaptasi modelnya, dan menggantinya dengan motif batik. Awalnhya, Batik yang saya pilih adalah batik lawasan/ batik bekas yang unik dan kusam. Entah mengapa, daya tariknya berbeda. Setelah baju jadi, bagus. Tapi, kok semuanya batik ya? Perlu variasi nih....

Berbekal pergaulan, internet dan rajin jalan-jalan, saya menemukan beberapa jenis kain yang sesuai jika dipadankan dengan batik. Juga mulai mempelajari setiap jenis batik yang ada di Indonesia. Mulai membuka situs-situs yang berhubungan dengan batik. Mulai memegang dan mempelajari batik-batik nenek dan ibu saya yang ada di rumah.

Satu dua baju selesai. Dipakai sendiri. Dan beberapa teman tertarik. Mencoba “mengambil” baju saya dengan cara rayuan, sampai paksaan. Tentu saja tidak saya berikan. Bukan karena pelit, tapi karena saya bilang “mending saya buatin model kayak gini, tapi motif batiknya beda ya”.
Jawabnya” Iya, soalnya modelnya unik. Nggak pasaran. Males beli yang sudah jadi di toko-toko, modelnya gitu-gitu aja. Nggak up to date”.
Jawab saya “itulah alasan saya buat desain baju sendiri dengan batik. Juga dengan beberapa padanan kain lainnya.

Akhir tahun 2009, mulailah saya “terima pesanan” seorang teman tadi. Lalu teman berikutnya. Dan teman selanjutnya. Menambah pengamatan saya untuk trend batik saat ini. Tapi tetap bertahan dengan keinginan saya.

Awal 2010, saya mulai berfikir, kenapa saya tidak mencoba ini jadi usaha saja ya? Berbekal sedikit pengetahuan tentang batik, tidak bisa menjahit, tidak terlalu pandai menggambar desain baju, apalagi latar belakang pendidikan bukan desain, rasanya saya tidak terlalu percaya diri memulainya.
Tapi menyadari betapa saya ini mencintai dunia pakaian dan selalu menjadi pengamat pakaian. Juga kecintaan saya pada kain batik. Juga keinginan untuk belajar, maka, apa salahnya mencoba?

Pakaian yang saya rancang sekarang adalah penggabungan keinginan seseorang untuk terlihat muda, modern, sedikit tersentuh gaya vintage- dengan sentuhan batik. Sentuhan. Ingat, sentuhan! S-E-N-T-U-H-A-N. Karena sekarang ini, memakai batik tidak harus keseluruhan dari atas sampai bawah berbatik. Sekarang, tali di sekitar tangan atau hanya kancingnya saja yang batik, orang sudah merasa punya “unsur batik” pada dirinya. Dari hal kecil dulu, lalu mulailah hal besar akan terjadi.. Percaya deh!

Dan... sayapun membuka lemari ini. Lemarinya tidak besar. Dan tidak terlalu penuh. Isinya sedikit-sedikit, juga tidak pernah kosong. Yang boleh membukanya siapa saja. Tapi biasanya mereka yang sejiwa dengan saya.

Kadang lemari ini dipukul orang. “Bajunya isinya jelek. Modelnya nyontek model perancang A atau B”. Atau ada yang dengan senyum datang terus sambil mengusap lemarinya. “Duh, mau lagi ah ambil baju dari sini. Modelnya sederhana. Batiknya unik. Harganya juga terjangkau”. Apapun itu, kritik dan saran harus diperdulikan. Pujian harus menjadi alat penyemangat.

Akhirnya, saya tidak pernah bilang memakai batik itu kuno. Memakai batik itu hanya mencari cara. Cara bagaimana batik itu menjadi sesuatu yang dicari. Baik dengan gaya muda, gaya modern, atau sekalipun dengan gaya kuno. Juga mencari cara memakai istilah sekarang. Muda jadi gaya. Modern jadi unik. Kuno jadi vintage.

Selamat berbatik. Dan membuka lemari saya. Lemari Lila.








(Lila)

No comments:

Post a Comment