Hallo semua..
Perlu waktu untuk memulai mengisi blog ini lagi. Saya sudah kangen sekali ingin berbagi cerita. Tapi baru malam inilah saya merasa bisa memulai menulis lagi.
Tanggal 10 Juli 2011 yang lalu (hari Minggu) jam 9.45 WIB, saya telah melahirkan seorang bayi laki-laki dengan berat 3,4 kg. Panjang 52cm. Di Rumah Sakit Panti Rapih, Jogjakarta. Alhamdulillah. Senangnya luar biasa. Jangan ditanya. Disamping senang, saya merasa telah terjadi sebuah hal yang sangat besar dan mengagetkan di hidup saya.
Dimulai dengan diare dan muntah-muntah hari Jumat 8 Juli 2011 sampai dengan Sabtu 9 Juli 2011. Ambeien saya menjadi-jadi. Keluar besar sekali dan sakitnya bukan main. Jadilah saya terbaring lemah di tempat tidur. Beberapa teman dan kakak saya bilang, saatnya sudah dekat. Biasanya sebelum melahirkan, ada.... aja yang sakit. Saya masih menyempatkan diri ke dokter dengan keadaan ambeien membengkak hebat. Sabtu pagi sampai malam, badan saya meriang dan pegal tidak jelas. Abu, suami saya dengan sabar memberi dukungan ke saya, karena saya menangis terus kesakitan gara-gara ambeien. "Tenang, jangan nangis. Ayo olesin salepnya. Kalau nangis, nanti kasian janinnya", begitu katanya.
Hari ini Kiki, sahabat saya, juga datang dari Jakarta. Dia masih sempat memijat punggung saya dan bilang, "jangan-jangan Subuh nanti loe ngelahirin nih, Lil".....
Malam ini dari jam 8 malam, saya sudah tidur.
Jam 2.30 dini hari, saya terbangun. Buang air kecil dan menggigil di kamar mandi. Tiba-tiba merasakan cairan keluar dari vagina saya. Berwarna kuning muda seperti pipis dan ada bercak darah sedikit. Tapi saya diamkan dulu, karena tiba-tiba badan menggigil hebat. Saya balik ke kamar, mengambil pembalut dan memakainya, lalu ke tempat tidur sebentar menghilangkan rasa kedinginan. Kira-kira 2 menit barulah saya membangunkan Abu, dan bilang "Udah dateng nih saatnya"....
Jam 3.00 WIB kami langsung ke RS Panti Rapih. Dengan memakai kursi roda, saya didorong ke ruang bersalin. Disambut oleh para perawat di ruang perawatan sebelum bersalin. Dicek tekanan darah dan aliran air ketubannya. Ketuban "diperas" dan dicek apakah sudah ada pembukaan. Ternyata sudah bukaan 3. Selanjutnya saya disuruh mandi dan jalan-jalan di sekitar ruangan, sambil menunggu kontraksi datang.
Lalu mulailah saat itu. Saat kontraksi datang lebih lama dengan jarak interval yang semakin dekat. Rasanya sulit saya gambarkan. Percampuran antara sakit saat menstuasi, ingin buang air besar, ada sesuatu yang harus dikeluarkan. Hanya dengan bantuan doa, saya bisa melewatinya dengan melenguh seperti sapi kesakitan. Kiki dan Pea datang menemani saya dan Abu. "Maafkan Kiki, semoga kamu tetap mau punya anak setelah melihat aku kesakitan saat kontraksi". Sulit sekali untuk bisa menahan sakit. Setidaknya harus ada suara yang dikeluarkan untuk mengimbanginya. Membaca doa tiap kontraksi menyerang sudah saya lakukan, tapi tetap saja sulit menahan suara yang keluar karena menahan rasa sakit. Saat itu pula saya tidak mau dipegang siapa-siapa. Paling hanya menjawab semangat yang diberikan Abu atau Kiki atau juga suster yang datang dengan bilang "sakit....seperti mau beol. Nggak boleh ngeden ya?"
Saya masih sempat mandi dan ke kamar mandi beberapa kali, dengan keadaan kontraksi tiba-tiba datang. Serulah rasanya... Sampai pada jam 9.00 WIB, kontraksi semakin kuat dan sering datang. Saya diperiksa lagi, ternyata sudah bukaan 6. Secepatnya para perawat membawa saya ke ruang bersalin.
Dalam keadaan terbaring di tempat tidur, saya dibawa ke ruang bersalin. Abu menemani saya di dalam, semantara Kiki dan Pea menunggu di luar. Di ruang bersalin, ada 4 suster (atau mereka adalah bidan rumah sakit) yang sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Mereka bilang, saya jalur tol. Patas. Karena untuk kelahiran anak pertama, cukup cepat hanya butuh 5 jam sudah masuk bukaan 6. Biasanya bukaan 1 ke 3 itu lama sekali. Tapi begitu sudah bukaan 6, akan cepat jarak waktunya sampai dengan bukaan 10.
Kontraksi semakin sering. Sayapun semakin sering melenguh. Suster bidan memberi kekuatan dengan menganjurkan saya berdoa. Mensyukuri semua rasa sakit. Akan ada manusia baru yang selama ini ditunggu-tunggu. Mereka bilang, mungkin dalam waktu 2 jam ke depan, anak saya sudah lahir.
Dokter Baroto pun sudah tiba. Saat kontraksi datang, para bidan langsung memegang tangan saya dan perut saya, lalu membimbing saya. "Tarik nafas, ngejan... ayo ditekan di bagian bawah. Seperti mau beol yaa.." Sayapun berusaha. Mungkin tidak sekuat tenaga. Karena saya masih belum menemukan cara yang benar. Dan betul saja. Mengejannya salah. Tekanannya ke perut, bukan ke arah bawah seperti mau buang air besar.
Berenti dulu. Lalu dicoba lagi. Tidak juga berhasil.
"Kamu ikut senam nggak sih?", tanya dokter Baroto. "Kalau mengejannya tidak benar seperti ini, kita tidak bisa tunggu terlalu lama. Kasihan anakmu sudah keluar masuk. Coba serius. Jangan anggap ini main-main. Mengejan dengan benar, kalau tidak keluar juga, kita pakai bantuan vakum untuk mengeluarkannya", begitu kata dokter Baroto.
2 menit kemudian saat kontraksi datang, saya disuruh tarik nafas lagi dan mengejan. Sekuat tenaga!
Lalu mulailah alat vakum diambil. 2 suster bidan memangku saya di tempat tidur, sehingga posisi saya setengah duduk. Dua orang lagi berdiri disamping kiri kanan saya, dan dokter memasukkan alat vakum.
Dalam keadaan terbaring di tempat tidur, saya dibawa ke ruang bersalin. Abu menemani saya di dalam, semantara Kiki dan Pea menunggu di luar. Di ruang bersalin, ada 4 suster (atau mereka adalah bidan rumah sakit) yang sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Mereka bilang, saya jalur tol. Patas. Karena untuk kelahiran anak pertama, cukup cepat hanya butuh 5 jam sudah masuk bukaan 6. Biasanya bukaan 1 ke 3 itu lama sekali. Tapi begitu sudah bukaan 6, akan cepat jarak waktunya sampai dengan bukaan 10.
Kontraksi semakin sering. Sayapun semakin sering melenguh. Suster bidan memberi kekuatan dengan menganjurkan saya berdoa. Mensyukuri semua rasa sakit. Akan ada manusia baru yang selama ini ditunggu-tunggu. Mereka bilang, mungkin dalam waktu 2 jam ke depan, anak saya sudah lahir.
Dokter Baroto pun sudah tiba. Saat kontraksi datang, para bidan langsung memegang tangan saya dan perut saya, lalu membimbing saya. "Tarik nafas, ngejan... ayo ditekan di bagian bawah. Seperti mau beol yaa.." Sayapun berusaha. Mungkin tidak sekuat tenaga. Karena saya masih belum menemukan cara yang benar. Dan betul saja. Mengejannya salah. Tekanannya ke perut, bukan ke arah bawah seperti mau buang air besar.
Berenti dulu. Lalu dicoba lagi. Tidak juga berhasil.
"Kamu ikut senam nggak sih?", tanya dokter Baroto. "Kalau mengejannya tidak benar seperti ini, kita tidak bisa tunggu terlalu lama. Kasihan anakmu sudah keluar masuk. Coba serius. Jangan anggap ini main-main. Mengejan dengan benar, kalau tidak keluar juga, kita pakai bantuan vakum untuk mengeluarkannya", begitu kata dokter Baroto.
2 menit kemudian saat kontraksi datang, saya disuruh tarik nafas lagi dan mengejan. Sekuat tenaga!
Saya mengejan. Sudah benar, tapi kurang bertenaga. Terus diulangi sampai dengan 5 kali.
Akhirnya, "saya harus mengambil tindakan. Kita vakum ya. Mas Abu mohon keluar ya. Kalau ini tidak berhasil, saya terpaksa mengambil tindakan operasi", kata dokter lagi.
Lalu mulailah alat vakum diambil. 2 suster bidan memangku saya di tempat tidur, sehingga posisi saya setengah duduk. Dua orang lagi berdiri disamping kiri kanan saya, dan dokter memasukkan alat vakum.
Dan dimulailah saat itu.....
Dua suster bidan menekan perut saya keras sekali dari atas, dua orang dari samping, dan saya disuruh mengejan. Satu kali. Sekali lagi hal yang sama diulangi. Saat mengejan itulah saya berteriak keras sekali. Aaaaaaaaahhhhhhh.... Seperti mendapat kekuatan entah dari mana. Mungkin juga karena mendengar salah satu suster bidan mengucapkan "Tuhan, bimbinglah kelahiran putra ibu Lila Imelda saat ini Tuhan. Tolong lancarkanlah proses kelahirannya". Sayapun langsung mendapat kekuatan.
Saat berteriak dengan perut ditekan keras sekali oleh suster bidan itulah, dokter menarik kepala bayi saya dengan alat bantuan vakum.
Dan...
terdengarlah tangisan bayi.
Alhamdulillah. Lemas, sedih, senang, bingung, lega, sakit... apa lagi ya...semua jadi satu.
Saya tidak memikirkan rasa yang lain lagi saat ari-ari dikeluarkan, ataupun saat dijahit pada lubang kelahiran. Saya hanya lemas terbaring. Iklas diapakan saja oleh para tenaga medis yang membantu saya melahirkan seorang manusia baru di dunia ini. Saat bayi saya sudah bersih dimandikan, dan diletakkan di atas badan saya, itu adalah saat terindah yang tidak terlupakan..
Ini dia jagoan saya. Aksan Rana Bumi. Aksan berarti mata dalam bahasa Hindi. Rana sama dengan diafragma atau pengatur kecepatan dalam bahasa Indonesia. Bumi berarti tempat kita hidup. Jadi artinya Mata yang menyeimbangkan dunia/bumi. Nama Aksan datangnya dari saya. Nama Bumi dari Abu. Nama Rana dari saudara kami, Mas Jay dan Vara.
Harapan saya dan Abu, anak kami nanti punya hidup yang seimbang, memandang segala hal dengan seimbang. Sehingga hidupnyapun tidak berlebihan juga tidak kekurangan. Wajahnya mirip saya bagian mata dan hidung, mirip Abu bagian bibir dan dagu.
Harapan saya dan Abu, anak kami nanti punya hidup yang seimbang, memandang segala hal dengan seimbang. Sehingga hidupnyapun tidak berlebihan juga tidak kekurangan. Wajahnya mirip saya bagian mata dan hidung, mirip Abu bagian bibir dan dagu.
Aksan saat baru lahir
Aksan 19 Juli 2011 (mukanya sudah berubah dari waktu lahir)
Begitulah cerita melahirkan. Posting berikutnya akan saya ceritakan segala sesuatu yang berhubungan dengan perubahan hidup saya setelah melahirkan.
Terima kasih untuk semua doanya ya.
Saya seorang ibu sekarang.
(Lila)